Timur atau Barat? 2

Lapangan Tennis De Bongerd

Tenis adalah olahraga favoritku dari aku kecil sampai sekarang. Dulunya aku hanya bisa menyaksikan pertandingan tenis di televisi pemerintah. Itupun kalau aku beruntung, soalnya jarang sekali pertandingan tenis disiarkan karena kalah pamor oleh sepakbola ataupun bulutangkis. Baru ketika aku bekerja di kantor pemerintah yang kebetulan berlokasi di depan kompleks lapangan tenis, aku benar-benar bisa merasakan bermain tenis. membayangkan masa itu aku pasti suka terrtawa sendiri. Aku masih ingat bagaimana hampir setiap siang pada jam istirahat kantor aku memaksa beberapa orang teman kantorku untuk masuk ke dalam kompleks lapangan tenis dan bermain tenis apa adanya. Yang aku maksud apa adanya adalah kami bermain dengan kemeja dan celana kantor tergulung dan tanpa sepatu alias bertelanjang kaki dan yang paling seru adalah kami harus masuk melewati pagar kawat yang kebetulan berlobang. Tapi jangan berburuk sangka dulu, bukan kami yang melobanginya.  Di siang hari kompleks itu terkunci dan tidak ada petugas yang menjaga. Raket yang kami pakaipun sangat seadanya dan jujur saja aku lupa raket siapa yang aku pakai dulu, yang aku ingat selalu ada raket-raket tua yang tersimpan di kantor. Ternyata banyak hal yang memalukan tentang sejarah awal aku bermain tenis. Hal lain adalah kami tidak pernah membeli bola tenis yang relatif mahal, alhasil sebelum bermain tenis, kami merumput dulu, alias mencari bola-bola bekas pemain tenis yang biasanya latihan di lapangan secara rutin. Bola-bola ini bersembunyi di balik tebalnya rumput kompleks lapangan yang luput dari penglihatan penjaga bola.

     Masih ada beberapa hal lain yang tidak tahan untuk tidak kutuliskan tentang pengalaman pertamaku bermain tenis. Karena kami bermain saat jam istirahat kantor ketika matahari sedang eloknya mengumbar sinar panasnya kemana-mana, maka badan kamipun berbelang dua. Setiap aku bercermin dan membuka baju, akan terlihat bagian siku ke bawah dan bagian muka sampai lingkar sekitar leher berwarna cukup kontras dengan bagian tubuh lain. Agak susah menemukan warna apa yang tepat tapi yang pasti warnanya kelam alias agak gosong.  Yang terakhir adalah tentang gaya permainan tenisku. Aku tidak pernah benar-benar berlatih tenis dengan seorang pelatih karena biayanya cukup mahal alhasil aku hanya menggunakan instingku dari mulai cara memegang gagang raket yang tidak benar sehingga membuatku sering merasa nyeri setelah bermain, kemudia caraku memukul bola yang kadang-kadang aku rasa lebih mirip gerakan tarian daerah, sampai gaya servisku yang mirip dengan servis bulutangkis. Kenyataan ini membuat gaya permainan tenisku berbeda dengan permainan tenis yang standar dan berlanjut sampai sekarang. Meskipun demikian, aku masih bisa mengimbangi permainan rekan-rekanku yang tergabung dalam sebuah klub tenis.

     Kegilaanku bermain tenis berlanjut sampai ke Belanda. Aku mempunyai seorang teman yang tinggal di kota Wageningen yang tidak terlalu jauh dari kota tempatku kuliah, Nijmegen. Dua bulan terakhir setelah aku menyelesaikan tesisku, aku memutuskan untuk bergabung dengan temanku tinggal di Wageningen. Alasan pertama tentu saja agar aku bisa berhemat karena aku dan temanku membayar sewa satu kamar. Alasan kedua tentu saja karena kompleks lapangan tenis yang menurutku sangat bagus. Bornsesteeg, flat mahasiswa tempat temanku tinggal berada tidak jauh dari komplek lapangan tenis yang dalam ukuranku luar biasa bagus. Kompleks ini memiliki tiga lapangan beralaskan rumput sintetis yang sangat mirip dengan rumput sebenarnya dan tiga lapangan tanah liat yang sebelumnya hanya bisa aku lihat di televisi.

    Hampir setiap sore aku dan teman-temanku yang rata-rata mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan S2 atau S3 di universitas Wageningen bermain tenis. Tenis adalah salah satu cara yang cukup ampuh untuk mengurangi stress yang disebabkan oleh tugas kuliah. Idealnya kami harus menggunakan sport card untuk bisa menggunakan lapngan tenis, tapi tidak semua memiliki kartu tersebut kami harus membayar beberapa euro jika ingin memilikinya, termasuk aku.Jadi yang kami lakukan adalah mengintai gedung de Bongerd yang menjadi gedung utama kompleks olaraga tersebut. Biasanya ada seorang pria tua yang berjaga di sana. Setelah memastikan pak tua tidak ada di tempat, kami pun masuk ke area lapangan tenis dan mulai bermain.  Tindakan ini tidak boleh dicontoh tapi karena kami semua tergila-gila dengan tenis jadi terkadang kami mengabaikannya.

       Suatu sore di musim panas ketika matahari menjadi sesuatu yang sangat dicintai oleh mereka yang tinggal di negara 4 musim, kami memutuskan untuk bermain tenis di de Bongerd. Kebetulan tidak ada kelompok mahasiswa dari negara lain yang bermain sore itu jadi praktis aku dan ketiga temanku bisa bermain sepuas hati. Kami bermain tenis dengan serius tapi penuh tawa menertawakan gaya kami bermain yang kadang lebih sering memukul bola keluar garis lapangan atau menyangkut di net. Suatu ketika seorang temanku memukul bola ke atas sehingga bolapun meluncur deras melewati pagar kawat pembatas yang aku perkirakan tingginya lebih dari enam meter. Tidak banyak bola yang kami punya jadi kamipun berhenti sesaat untuk mengintip dari celah-celah pohon-pohon yang ditanam di luar bagian pagar kawat. Kami dapat melihat dengan jelas bola itu mendarat di area berumput di seberang jalan yang terbentang di antara kompleks lapangan tenis dan bagian samping gedung de Bongerd. Kami tahu salah satu dari kami harus berinisiatif mengambil bola itu. Tapi membayangkan kami harus keluar dari pintu kompleks yang terletak di ujung kompleks dan berjalan memutari setengah kompleks itu, kami berempatpun seperti kehilangan inisiatif untuk mengambilnya.

Tapi belum sempat kami memaksa teman kami yang telah memukul bola itu keluar untuk mengambil bola di luar, kami melihat sebuah mobil sedan hitam mulus yang menurutku adalah sebuah sedan yang sangat mewah berhenti di pinggir jalan persis di dekat bola kami yang dipukul keluar oleh salah seorang teman kami tadi. Pintu sedan bagian kiri depan terbuka dan keluarlah seorang wanita berambut pirang dengan gaun pesta berwarna biru perak terang dengan sepatu berhak tinggi berwarna perak pula. Wanita itu tidak melihat ke arah kami dan dengan anggunnya dia berjalan melintasi halaman rumput di sebelah jalan dan memungut bola kami. Kemudian dia berjalan mendekati kompleks lapangan persis di dekat kami yang masih ternganga di dua bagian, yaitu mulut dan mata. Wanita itu lalu melempar bola itu ke dalam lapangan sambil berteriak ramah “goedemiddag!” yang artinya selamat sore kemudian dia masuk kembali ke mobilnya menyisakan bagian punggung terbukanya untuk kami lihat yang ternyata tidak kebagian bahan gaun birunya yang panjang sampai ke tanah dan tak lama mobilnyapun lenyap dari pandangan mata kami.

     Beberapa saat kami tidak mengucapkan sepatah katapun, kami hanya saling berpandang-pandangan sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Awalnya secara pribadi, aku bertanya kepada diriku sendiri, akankah aku melakukan hal yang sama jika aku sedang menyetir lengkap dengan setelan rapiku dan melihat bola di pinggir jalan? Agak susah aku menjawabnya karena aku tidak bisa menyetir. Kedua, adakah orang sebaik wanita itu di negaraku? Kemudian baru aku perpikir hal lain yang lebih penting mungkin. Aku yakin kami memikirkan dua hal yang sama, yang pertama, betapa cantik dan seksinya wanita tadi, kedua, betapa berlebihannya wanita itu rela mau turun dari mobilnya dan mengambilkan bola gundul yang sudah kami pakai berkali-kali itu. Hal ketiga yang kami pikirkan yaitu mudah-mudahan lain waktu ketika kami memukul bola tenis itu keluar dari lapangan secara sengaja atau tidak, wanita itu akan muncul lagi dan mengambilkannya untuk kami atau bahkan akhirnya dia mau bermain tenis bersama kami. (LT)

Leave a comment