Timur atau Barat? 3

Musim dingin di Nijmegen

Awal musim dingin di Eropa adalah masa-masa penuh keluh kesah bagiku dan mungkin juga bagi kebanyakan orang-orang yang berasal dari negaraku. Tubuhku yang dokter bilang tidak terlalu kuat dan rentan terhadap perubahan cuaca, butuh waktu cukup lama untuk bisa beradaptasi dengan suhu dingin luar biasa yang bisa mencapai di bawah nol derajat Celcius. Selama hampir dua minggu, hidung dan mulutku mengeluarkan darah yang aku yakin penyebabnya adalah suhu dingin tersebut. Terkadang jika aku lupa membawa sarung tanganku ketika bersepeda menuju kampus, telapak tanganku akan mati rasa beberapa saat setibanya aku di kelas. Pernah sekali aku bereksperimen bodoh menaruh segelas air di luar jendela kamarku dan dalam waktu singkat air itupun membeku. Di saat-saat seperti itu, aku merasa beruntung dan beryukur aku berasal dari negaraku tercinta. Meskipun ada segudang atau mungkin dua gudang permasalahan yang kelihatannya tidak akan pernah bisa selesai, aku tetap bisa menikmati hangatnya sinar matahari yang terkadang sampai menggosongkan kulitku. Tapi kalau boleh memilih, aku lebih sanggup menerima sengatan sinar matahari di negaraku dari pada harus menghadapi cuaca dingin ini. Jangan-jangan kalau aku diam di tempat terbuka beberapa jam aku benar-benar bisa membeku seperti es batu.  Namun seiring berjalannya waktu, tubuhku pun semakin kuat dan kebal dengan udara dingin menusuk tulang. Bahkan aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di luar tentu saja dengan pakaian dinginku yang berlapis-lapis seperti kue lapis dan tebal seperti tembok baja.

      Salah satu kebiasaanku yang menurutku agak tidak lazim adalah menyusuri jalan-jalan di kotaku yang tidak aku kenal bermodalkan petunjuk arah dari Google Maps yang aku print. Tidak ada tujuan khusus dari kebiasaan itu. Aku hanya merasa senang dan puas menaklukkan ketakutanku yang terkadang berlebihan ketika tersesat di sebuah daerah yang tidak aku kenal. Keberhasilanku mengambil foto dan kembali ke apartemenku tanpa tersesat adalah suatu kebanggaan sederhana. Semua perburuanku itu aku lakukan dengan bersepeda tentu saja. Sepeda adalah transportasi utama di Belanda yang paling nyaman dan aman. Nyaman dan aman karena jalan-jalan di Belanda umumnya memiliki tiga jalur. Jalur utama untuk pengendara mobil, jalur kedua untuk pengendara sepeda, dan jalur ketiga untuk pejalan kaki. Aku sempat bertekad setibanya aku di Indonesia nanti, aku akan membeli sebuah sepeda dan aku akan bersepeda kemana-mana. Tapi tiba-tiba bayangan pengendara motor dan mobil di tempatku yang selalu seperti sedang ikut balap Formula 1 ditambah pedagang kali lima yang menggelar dagangannya sampai setengah badan jalan membuatku menempatkan niatku itu ke bagian paling bawah memoriku.

Apartemenku (Willemsweg) di musim panas

    Suatu sore di musim dingin, sekitar pukul lima sore namun matahari sudah masuk lagi ke peraduannya, aku mengeluarkan sepedaku dari lantah bawah tanah apartemenku. Kali ini aku akan melaksanakan ekspedisi kecilku menemukan sebuah jalan yang bernama Medanstraat. Aku tidak menemukan penjelasan mengapa kata ‘medan’ dijadikan sebagai nama jalan di sini. Tapi yang pasti, aku ingin menemukan jalan itu dan mengbadikannya dengan kamera sederhanaku untuk kutunjukkan kepada teman-temanku sepulangnya aku nanti. Aku tahu bersepeda di musim dingin menyusuri jalan-jalan tertutup salju tipis yang mulai mencair ditambah lagi lumut basah yang menghiasi  bukan suatu kegiatan yang mudah. Permukaan jalan akan menjadi luar biasa licin sehingga kemungkinan ban sepedaku terpeleset dan tergelincir akan sangat mungkin terjadi. Tapi aku tetap melakukan misiku dengan janji aku akan sangat berhati-hati.

Jalan di Belanda yang memiliki jalur tersendiri untuk pengendara sepeda.

     Akhirnya, sampailah aku di Medanstraat yang ternyata berdekatan dengan Atcehstraat, Borneostraat, dan Sumaterastraat. Aku belum sempat mencari penjelasan mengapa nama-nama berbau Indonesia itu digunakan sebagai nama jalan, tapi secara umum kita pasti tahu kita punya hubungan sejarah yang sangat panjang dengan Belanda. Akupun memotret papan nama jalan itu beberapa kali. Aku sempat berpikir apakah mungkin di sini banyak orang Batak sehingga mereka menamai jalan ini Medanstraat? Bah, tidak mungkin pula aku gedor pintu rumah-rumah warga di sini satu persatu-satu untuk membuktikan dugaan bodohku itu. Aku segera memasukkan kameraku ke dalam saku jaketku, malam semakin dingin. Aku mulai mengayuh sepedaku untuk kembali ke apartemenku. Ketika aku harus melewati sebuah bundaran untuk berbelok ke arah kiri, aku berbelok terlalu tajam dan akhirnya, seperti suara nangka busuk, aku terjatuh mendarat ke jalan yang licin dan punggung bagian bawahku yang menghantam jalan terlebih dahulu menampung seluruh berat tubuhku dan sepedaku. Seumur hidupku, baru saat itulah aku mengalami sakit yang sangat luar biasa pada bagian bawah punggung. Aku yakin tulangku retak. Karena sakit luar biasa, aku sampai berteriak keras, aduh! berkali-kali, tidak dalam bahasa Inggris atau bahasa Belanda karena aku tidak sempat lagi memikirkan apa padanan kata ‘aduh’ yang tepat.

Borneostraat    
Atcehstraat dan Medanstraat

     Untuk beberapa lama, aku tidak mampu berdiri dan hanya terbaring di jalan sambil mengerang kesakitan sambil berusaha menyingkirkan sepeda yang menghimpitku. Aku bingung mau berteriak minta tolong sama siapa, tidak ada orang yang melintas di jalan itu. Bodohnya lagi, aku berpikir, kalau aku meneriakkan kata ‘tolong’, apa ada yang akan mengerti dan menolong? Akhirnya aku putuskan meneriakkan kata ‘help’ beberapa kali, untuk sesaat aku merasa seperti sedang syuting film-film barat yang aku tonton tapi aku tidak peduli karena aku benar-benar butuh pertolongan. Aku tetap mencoba sekuat tenaga untuk duduk, saat itulah dari sebuah rumah yang berada paling dekat dengan posisiku terjatuh, keluar seorang wanita tua yang setelah aku lihat dengan jelas berumur tidak kurang dari lima puluh tahun berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku, rupanya teriakan ‘help’ tadi mebuahkan hasil. Wanita itu menyingkirkan sepeda dariku sambil bertanya dalam bahasa Belanda yang mudah-mudahan kalau tidak salah aku artikan “Ada apa denganmu? Apa kamu baik-baik saja?” Dalam bahasa Inggris aku menjelaskan kepadanya sepedaku tergelincir di jalan yang sangat licin. Lalu dia berteriak memanggil seseorang dan keluarlah seorang lelaki tua yang aku yakin adalah suaminya. Sekilas mereka berbicara dalam bahasa Belanda kemudian sang suami bertanya kepadaku apa aku bisa berjalan. Aku menjawabnya dengan berdiri, pasangan suami istri itu dengan sigap meraih lengan kanan dan kiriku dan membuat aku merasa agak risih tapi sangat terharu. Sakit sekali rasanya ketika kuluruskan punggungku tapi aku tahu aku harus bisa berdiri, bisa panjang ceritanya kalau aku harus dirawat ke rumah sakit.

     Aku pikir aku hanya akan dibiarkan berdiri oleh pasangan sumai istri itu kemudian aku akan berusaha meraih sepedaku untuk segera bergegas pulang walau aku tidak yakin aku masih bisa naik sepeda. Tapi suami istri itu justru memapah aku menuju kerumahnya sambil berkata kepadaku bahwa aku tidak boleh pulang dengan bersepeda dan mereka akan mengantarku ke apartemenku. Aku terkejut mendengar hal itu karena rasanya tidak mungkin mereka mau merepotkan diri untuk mengantarku pulang. Akupun menolak tawaran itu secara halus dengan mengatakan aku sudah merasa lebih baik setelah mencoba berjalan. Tapi mereka tidak peduli dengan penolakanku, aku dipapah masuk ke ruang tamu mereka dan diminta duduk di kursi mereka yang hangat dan nyaman. Setelah itu sang suami bergegas mengambil sepedaku yang masih di jalan sementara sang istri masuk ke ruangan di samping ruang tamu. Tidak lama kemudian sang suami duduk bersamaku dan sang istri muncul sambil membawa segelas teh hangat. Satu jam kami habiskan untuk mengobrol panjang lebar. Kebanyakan mereka bertanya tentang keluargaku, negaraku, dan kegiatanku di Belanda. Akhirnya aku mohon pamit kepada mereka untuk segera pulang. Mereka langsung bergegas mengambil jaket mereka dan membantuku keluar menuju sebuah mobil dengan bak terbuka yang diparkir di pinggir jalan. Aku dipersilahkan masuk ke bagian depan mobil sementara sang suami mengangkat sepedaku ke atas bak mobil. Kemudian mereka masuk ke dalam mobil dari sisi kiri dan kananku.

     Aku hanya bisa mengucapkan terimakasih berkali-kali yang sepertinya tidak terlalu mereka pedulikan ketika kami sampai di depan apartemenku. Untuk beberapa saat aku berdiri memandang mobil manusia-manusia baik itu benar-benar lenyap dari pandangan. Sekali lagi hati dan nuraniku dilanda kekeluan luar biasa di negara ini. Sedikitpun aku tidak pernah berpikir mereka akan menolong orang asing seperti aku yang berasal dari tanah antah berantah sampai sedemikian rupa tanpa rasa takut, sungkan, dan pamrih. Dalam hati aku memaksakan keyakinan bahwa aku pasti masih bisa menemukan orang-orang seperti itu di tanah tumpah darahku. (LT)

Leave a comment